Berbicara Baik

Standar

Sepupuku kemarin bercerita bahwa lingkungan tempat ia berada saat ini membuatnya kurang nyaman. Di sana, orang-orang berbicara dengan bahasa yang kasar. Mungkin memang sudah watak jika berbicara dengan nada tinggi, dan sepupuku yang berasal dari Jawa merasa kaget. Hanya saja, bukan masalah itu yang membuat ia tidak nyaman. Melainkan karena orang-orang tersebut sering menggunakan kata-kata kotor.

Dia merasa khawatir, karena harus tinggal di sana dalam waktu yang lama. Takut jika ia mulai terbiasa mendengar atau bahkan ikut mengucapkan kata-kata tersebut. Sebutlah kata-kata makian, kebun binatang, ungkapan kaget, dan semacamnya yang kurang sopan. Aku tidak perlu menuliskannya, karena aku juga tidak suka.

Diam itu emas, katanya. Menurutku, tidak semua diam itu emas. Aku tahu bahwa lidah adalah bagian tubuh yang tidak bertulang. Meski seperti itu, kata yang terucap bisa jadi setajam pedang. Melesat seperti anak panah yang tidak bisa ditarik kembali. Oleh karena itu, aku selalu diajarkan untuk berbicara yang baik atau lebih baik diam.

Saat seseorang diam, ada banyak penyebabnya. Diam karena tidak mengerti, tidak ingin mengikuti, tidak ingin terlibat. Diam yang pasif dan terkesan tak acuh. Ada pula diam yang karena dia paham, dia tidak ingin berdebat, kecuali dimintakan pendapat. Meski diam itu katanya emas, ada waktu kapan kita harus berbicara untuk meluruskan menyampaikan ayat kebenaran meski berat. Itulah tugas dakwah.

Aku tidak akan pernah mau menjadi domba berwarna putih.
Jika aku berubah seperti itu maka aku bukan menjadi diriku lagi.
Apakah aku mengganggu orang lain karena berbeda dengan sekitarku?

Keyakizaka46

Kembali pada bahasan kata-kata kasar tadi. Aku memperhatikan bahwa saat ini, banyak orang yang merasa bahwa itu adalah kata-kata yang biasa, dan sekadar bumbu dalam pembicaraan. Aku sedih, karena banyak pula orang Islam yang melontarkan kata-kata yang kurang baik. Kita ambil contoh saat kaget, coba perhatikan berapa orang yang mengucap asma Allah dibandingkan kata sumpah serapah? Atau saat seseorang bersin, berapa orang yang mengucap hamdalah dan balas mendoakan. Semakin langka bukan?

Ketika terbiasa mengucapkan kata kasar, menurut pandangan pribadiku nilai dirinya sedikit berkurang. Lidah yang terbiasa mengucap kata kasar saat berbicara biasa, entah apa yang terlontar jika ia marah. Aku sendiri tidak akan memilih pendamping hidup yang tidak bisa menjaga lisannya.

Lidah adalah anggota tubuh yang tidak akan membantu kita bersaksi saat hari penghisaban. Ia akan diam, sedangkan bagian tubuh lain akan bersaksi. Telinga akan menceritakan apa yang ia dengar dari lidah. Sedih sekali.

Aku masih berharap bahwa orang-orang sadar untuk berhenti berucap kasar. Lebih baik membiasakan lidah untuk berdzikir. Mengurangi dosa dan melatihnya pada kalimat yang baik. Saat kita mati, mungkin saja akan mempermudah dalam melafalkan kalimat tauhid.

Bagi sebagian orang yang mengatakan bahwa kata-kata kasar adalah hal biasa. Aku curiga bahwa lingkungannya memang seperti itu. Meski seperti itu, tidak semua orang yang mendengarnya akan merasakan hal biasa. Kita tidak tahu hati terdalam manusia. Bisa jadi ia merasa sakit atas apa yang kita lontarkan.

Ayolah, berhenti mengucap kata-kata kasar. Aku baru menulis tentang kata-kata kasar yang dilontarkan lidah lho! Belum membahas mengenai ghibah, fitnah, dsb yang juga masih berhubungan dengan lidah. Tidak terbayang berapa banyak dosa yang disebabkan oleh ucapan. Setidaknya, pada hal kecil seperti berhenti menggunakan kata-kata kasar akan sedikit mengubah gaya berbicara kita dan menjadi pribadi yang lebih baik.

Tinggalkan komentar